POLITIK
GENDAM TANPA SIHIR
Menjadi
saksi dalam suatu pertunjukan karya seni sangat berpengaruh pada kepedulian seseorang
pada tahap selanjutnya. Dalam dekapan haruk piruk kebijakan petinggi membuat
semua ini bagaikan sandiwara kehidupan. Para pemuda semakin sulit mengembangkan
wawasannya karena suatu tekanan problematis dari suatu kebijakan negeri.
Dalam
tulisan Sihir Politik Wayang Banyolan
karya Setia Naka Andrian (Dosen Universitas PGRI Semarang) digambarkan bahwa
masyarakat sudah tidak terlalu tertarik dengan pertunjukan wayang pada umumnya,
akan tetapi masyarakat lebih suka dengan pertunjukan yang meningkatkan gairah. Sehingga
semua di tampilkan dengan kekonyolan-kekonyolan, kekonyolan yang disajikan
sebagai gambaran negeri pada saat ini, dimana semua lebih suka berjoged menggerakkan
seluruh anggota badannya ketimbang diam dengan mengeksplorasi karya seni. Masyarakat
bagaikan terhipnotis dengan kekonyolan negeri ini, akibatnya sulit untuk
merubah dari duduk menjadi sedikit berdiri.
Kini masyarakat
bagaikan benda yang hanya mampu mengikuti atas suatu perintah. Seperti berjoged
ketika mendengar sebuah alunan musik, namun mereka tidak mampu memberi ruang
penikmat musik dengan melodi hasil karyanya.
Dalam
politik negeri, kini politik bukan lagi sebagai penegak kebenaran, melainkan
sebagai usaha membahayakan dan mampu memecah belah kesatuan. Kebenaran kini bukan menjadi suatu yang diutamakan
tetapi kekuasaan lah yang menjadi prioritas para petinggi.
Kebiasaan
masyarakat yang tenang kini tersulap
menjadi sedikit ekspresif, namun sayang perubahan itu tidak ditempatkan dalam
tempat yang semestinya. Sehingga banyak sekali oknum yang berusaha menghalalkan
semua cara demi kehendak yang ingin dicapainya.
Suatu
cara demi kepentingan pribadi yang tidak patut dicontoh tersebut, semestinya
harus kita hancurkan dari jiwa setiap manusia. Dalam tulisan Sihir Politik Wayang Banyolan juga
digambarkan dalam salah satu tokoh di cerita yaitu Pak Lungsur. Demi mendapatkan
kekuasaan pak lungsur menghalalkan berbagai cara, dan sikap seperti inilah yang
menghancurkan tatanan negara. Dalam hal ini masyarakat hanya menjadi patung, yang
hanya diam dan menyaksikn semua yang terjadi.
Gedung
gedung semakin menjulang tinggi, namun kemampuan memperbaiki negeri masih dalam
ukuran yang rendah. Semestinya negeri ini berhak memberontak, tapi apa daya,
negeri tak mampu mengeluarkan sajak. Negeri ini bagaikan gunung yang ingin
memuntahkan isi perutnya, tapi negeri tak sanggup melihat kegelisahan para
penghuni. Dengan demikian para petinggi pun masih tetap tidak peduli atas apa
yang akan terjadi, mereka hanya ingin bersenang senang dan menikmati kekuasaan
mereka saat ini, tanpa memikirkan rakyat dan dampak atas riya’ yang mereka
lakukan.
Ruang
redup itu akhirnya menjadi saksi, saksi atas kehancuran moral karena politisi
yang tak sepatutnya hidup seperti ini, dan para petinggi harus memahami bahwa
kebenaran itu harus kita terapkan pada politik negeri. Dan dalam ruang itu
penonton menjadi memori yang menyimpan gejolak gejolak politik tak kasat mata.
Desy
Panca Wardani (Mahasiswa
UPGRIS)
Komentar
Posting Komentar